Minuman Favorit, Perusak Tubuh | Asma dan Fakta yang Belum Terungkap di Belakangnya | Kedokteran Dalam Sejarah | HIV-AIDS Treatment Centre | Indonesia, Kemiskinan dan Potret Buram Kesehatan | Unpretending Love Blogger Template | Tata Laksana Demam Berdarah Dengue | Tips Mendaftar Google Adsense |
Google

05 March 2007

Nasionalisme sebagai sebuah semangat kuno?*

Tayangan di televisi kian menjemukan. Hampir tiada hari tanpa sinetron dan infotaiment. Hampir tiada sinetron tanpa kisah anak gadis hamil diluar nikah, hampir tiada infotaiment tanpa kisah putus-nyambung kawin–cerai selebritis. Jika masih dianggap bahwa media televisi adalah alat peng-haegemoni ter-efektif, maka bayangkanlah bagaimana karakter bangsa kita hari ini dan masa yang akan datang dengan tontonan seperti itu. Pemunculan kedua tayangan murahan tersebut mendapatkan prioritas untuk tampil pada jam-jam yang “strategis”, seperti jam 16.00 - 18.00, kemudian jam 19.00 – 22.00, bahkan ada yang lanjut hingga jam 11 malam. Sisanya baru kemudian diberikan untuk tayangan-tayangan diskusi mengenai problematika ummat dan bangsa. Ini adalah sebuah indikasi mengerikan bahwa ternyata masyarakat kita lebih serius mencermati dan menyayangkan tragedi “Kematian Alda” dibandingkan kematian negerinya sendiri. Beruntung masih ada acara seperti “News Dot Com” walaupun ada juga yang menganggapnya sebagai suatu komersialisasi nasionalisme (tapi paling tidak masih bisa dijual).

Dengar pula senandung anak atau adik kita yang baru TK atau masih SD. Ternyata mereka lebih hapal dan suka menyanyikan lagu “Demi Waktu”-nya Ungu, “Kenangan Terindah”-nya Samson bahkan “Teman Tapi Mesra”-nya Ratu dibandingkan lagu Maju Tak Gentar, Rayuan Pulau Kelapa, atau Gugur Pahlawan.



Kondisi seperti ini tak sepenuhnya salah sebagai kesalahan dirinya sebab inilah hasil dari sebuah “kekagetan” memasuki masa kebebasan dari dominasi rezim Orde Baru, dimana masyarakat kita sudah “kekenyangan” menelan nasionalisme kosong yang hanya dijadikan komoditi untuk tetap berkuasa. Walaupun sebelumnya nasionalisme menjadi spirit yang begitu penting dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan di fase awal bangsa ini. Maka gambaran singkat tentang nasionalisme di negeri kita adalah sebagai berikut : Nasionalisme sebagai sesuatu yang membanggakan menjadi sebagai sesuatu yang mengerikan kemudian berakhir menjadi sesuatu yang membosankan.

Mahasiswa yang masih ngomong tentang nasionalisme akan mendapatkan label kuno atau membosankan (kalo di FK dibilangi “Indonesia Raya Sekali...”, tapi sekarang alhamdulillah sudah jarang terdengar lagi). Ini adalah bentuk character assassination bagi kawan-kawan kita yang masih peduli terhadap nasib bangsa di tengah lingkungan kehidupan mereka yang sangat hedon. Memang sedikit menyakitkan ketika kepedulian positif mendapatkan balasan negatif seperti itu. Namun itulah tantangan “kecil-kecilan” aktivis hari ini. Tak begitu diperhitungkan namun begitu rese’ plus menjengkelkan.

Hari ini banyak yang tak menyadari secara mendalam bahwa bangsa ini tidak akan pernah lepas dari kebodohan, kemiskinan, korupsi, dan lainnya selama mereka masih belum punya niat untuk ber-nasionalisme, seperti yang ada pada prinsip indetermenisme Islam (Ar Ra’d(13) : 11). Kasarnya, jangan pernah sok mengeluh tentang kepemimpinan SBY – JK atau bahkan Soeharto jika semangat nasionalisme saja tidak punya! Selama kita tidak punya semangat itu selama itu pula kita tidak berhak untuk mendapatkan keadilan di negeri ini.

Nampaknya tugas kita yang paling rill hari ini untuk membangun bangsa adalah menebarkan pemahaman bahwa bangsa ini butuh kepedulian dari generasi mudanya untuk memikirkan nasib bangsa ini sekaligus memberi jawaban terhadap problem kompleks rakyat kita hari ini. Istilahnya bagaimana kita mengajak mahasiswa untuk bermahasiswa. Mengadaptasi istilah Paulo Freire (memanusiakan manusia), bagaimana kita bisa untuk memahasiswakan mahasiswa. Sedikit tentang mahasiswa, bahwa mahasiswa punya tanggung jawab intelektual atau pendidikan tinggi yang ia miliki. Tak berlebihan jika berbicara tentang pergerakan mahasiswa, maka nilai seorang mahasiswa diukur dari seberapa peduli ia terhadap kondisi ummat dan bangsa hari ini. Mahasiswa baru boleh disebut sebagai mahasiswa jika nilai tersebut telah teraktualkan.

Globalisasi kini telah menjadi main streem, fakultas kita yang tercinta kemudian meresponnya dengan menghadirkan kelas Internasional, sementara kita masih saja merasa inferior. Terlalu klise mungkin, tapi adakah jalan keluar lain untuk mendapatkan kepercayaan diri bangsa selain dengan semangat nasionalisme (yang katanya kuno) itu? Ayo kawan-kawan, tunjukkan bahwa Anda memang bebeda dengan mahasiswa lainnya yang hanya sibuk diatur oleh kurikulum, sok hobi bermain bilyard dan sok ber-life style dugem. Anda punya potensi intelectual quotient (IQ) yang luar biasa (buktinya Anda lulus di FK), jangan sia-siakan untuk hal-hal yang tak berunjung manfaat untuk orang banyak. Mulailah belajar untuk memikirkan bagaimana cara untuk menyelamatkan ummat dan bangsa kita dari keterpurukan. Dan yang tak kalah penting, Yakin Usaha Sampai!

*)Tulisan ini dipersembahkan untuk para panitia dan peserta Basic Training HMI angkatan LXXI



M. TAsrif MAnsur

1 Comments:

Blogger Catatan Perjalanan Menuju Mati said...

Nasionalisme memang barang kuno yang perlu dipikir ulang jika hidup lagi karena benda ini telah di jebol bersama kedatangan Islam menjadi ummatan wahidah. Nasionalisme pula yang telah menyekat ukhuwah. Coba lihat kasus kasus besar, palestina, kashmir, airaq dll yang sejenis. Saudara2 Islam dibumi lain nggak bisa bergerak karena dalam jeratan nasionalisme.

Ungkapan ungkapan eshtablis thinking mungkin juga perlu dipikir ulang.Seperti ungkapan "Tanggungjawab generasi muda"... dll. Jika hari ini rusak dan banyak masalah kan ada penyebabnya... bisa dibilang generasi tua ? contohnya korupsi.... ini kan masih pada hidup pelakunya. Mereka bertanggungjawab seharusnya. Kenapa orang tua yang jahat dan masih hidup menikmati kejahatannya.... anak muda pula yang suruh nyelesain... :)

Sudah ada putaran regenerasi bangsa. Orba kemudian or or yang lain. Hasilnya telah terjadi peninkatan prestasi jadi 3 terbesar terkorup dunia.

.... :)

maaf hanya mampir calon calon pak dokter.... jika jadi dokter nanti jangan hanya sibuk menerima pasien dan mengantongi bayaran. Saat mahasiswa gini mungkin masih sempet bakti sosial, pngobatan gratis dll. Tapi bahwa rakyat mayoritas mengeluh mahalnya urusan kesehatan/dokter... perlu tahu.

kan nanti bisa bisa bakti sosial justru jadi lipstik. Seakan baik... tapi cuman dikit sementara yang mahal tadi eksis dan langgeng menjepit rakyat banyak.

5:17 AM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< KEMBALI KE HALAMAN DEPAN